Antara Kusta dengan COVID-19: Dapatkah Hidup Berdampingan?

Setiap hari minggu terakhir pada bulan januari diperingati hari kusta sedunia dengan maksud dapat mengubah pandangan masyarakat serta menumbuhkan rasa peduli terhadap penyakit dan pederitanya.

 Apa itu kusta?

Gambar 1. Penderita Kusta
Sumber foto: Buol, 2017

Tahukah pembaca, kusta alias lepra alias Morbus Hansen merupakan suatu penyakit akibat  bakteri Mycobacterium leprae. Tahun 1983 ditemukan penyebab kusta oleh dr. Gerhard Armauer Henrik Hansen sehingga bukan penyakit turun temurun ataupun kutukan (Kemenkes RI, 2018). 

Lalu, tubuh bagian mana yang terdampak? 

Penyakit ini menyerang saraf tepi dan mukosa saluran pernapasan atas, selain itu timbul jejas pada kulit. Jika tidak diobati, maka dapat menyebabkan kerusakan progresif dan permanen pada kulit, saraf, anggota badan, dan mata (Kemenkes RI, 2018; Mahato et al., 2020)

Lantas, bagaimana cara penularannya?  

Kusta dapat menular dengan kontak langsung melalui kulit dengan syarat penderita dan orang yang terpapar memiliki jejas pada kulit serta terpapar dalam waktu lama secara berulang. Selain itu, juga melalui pernapasan. Pria dua kali lebih rentan dibandingkan perempuan (Kemenkes RI, 2018). 

Nah, ternyata bakteri ini dapat bertahan di luar tubuh manusia sekitar sembilan hari dengan waktu perkembangbiakkan 2-3 minggu. Masa inkubasi bakteri ini, waktu terpapar bakteri sampai timbul gejala, adalah dua hingga lebih dari lima tahun (Kemenkes RI, 2018). 

Apakah pembaca mengetahui bagaimana kusta di Indonesia? 

Pada tahun 2017, di Indonesia terdapat sepuluh provinsi dengan angka bebas kusta tinggi. Kasus baru kusta tertinggi pada provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua (Kemenkes RI, 2018). 

Bagaimana gejala kusta?

Gambar 2. Kusta tipe pausi bacillary (bercak berwarna putih dan bercak tidak sensitif)
Sumber foto: https://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2006/Leprosy/snsx.htm

(Kemenkes RI, 2018)

Gambar 3. Kusta tipe multi bacillary (bercak disertai pembengkakan dan penebalan)
Sumber foto: https://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2006/Leprosy/snsx.htm

Kusta dengan COVID-19? Apakah ada hubungannya?

Tahukah pembaca tentang apa COVID-19 itu?

Baik sebelum dibahas tentang hubungan keduanya, mari kita bahas sekilas tentang apa itu COVID-19.

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2) yang muncul pertama kali di Wuhan, Cina pada Desember 2019. Masa inkubasi virus ini rata-rata 5-7 hari tetapi dapat hingga 14 hari. 

Nah pembaca, penularannya melalui droplet (percikan liur dari mulut atau hidung), kontak langsung, kontak dengan benda yang terkontaminasi, dan aerosol (Partikel yang sangat kecil sehingga dapat bertahan di udara dalam waktu lama). 
(WHO, 2021)

Kemudian, apakah ada hubungan antara COVID-19 dengan kusta?

Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Junior et al.  (2021) menunjukkan bahwa COVID-19 memiliki peran pada peradangan sehingga dapat merangsang reaksi kusta. Terdapat peningkatan ekspresi Interlekuin (IL)-6, protein (sitokin) untuk mengatur respon kekebalan tubuh,  pada penderita kusta sekaligus COVID-19. Selain itu juga terjadi peningkatan IL-12B (protein terkait respon kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri).

IL-6 menjadi penanda nyeri syaraf sehingga penderita kusta yang terinfeksi COVID-19 beresiko besar mengalami silent neuropathy (gangguan  syaraf tanpa keluhan nyeri syaraf, kesemutan, dan nyeri tekan). 

COVID-19 dapat memicu atau meningkatkan keparahan reaksi tipe 2 kusta, salah satu pencetus kerusakan saraf, yang diobati dengan obat kortikosteroid.  Pada reaksi kusta berat diberikan prednisolon (kortikosteroid), namun dosis tinggi dengan jangka waktu lama (12-14 minggu) dapat menyebabkan efek penekan sistem kekebalan tubuh sehingga meningkatkan resiko terinfeksi COVID-19(Deps et al., 2020). 

Namun, para ilmuwan berhipotesis bahwa vaksinasi BCG, pengobatan kemoprofilaksis untuk mencegah penularan kusta pada orang yang terpapar penderita kusta, dapat mengurangi kemungkinan tertular COVID-19

Hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan oleh Kurizky et al. (2020) menyebutkan bahwa keluarga penderita yang telah divaksinasi BCG tidak tertular COVID-19 walaupun kontak dekat dengan penderita kusta sekaligus COVID-19. 

Tahukah pembaca, ternyata pengobatan kusta yaitu klofazimin, termasuk multi drug therapy (MDT) yaitu kombinasi obat untuk kusta sebanyak dua obat atau lebih, terbukti memiliki manfaat sebagai antivirus COVID-19 dan penurun badai sitokin penanda keparahan COVID-19 pada model hewan hamster dan sel manusia (Yuan et al. 2020). Eitss tapi obatnya jangan disalahgunakan ya :)

Saat ini, klofazimin yang dikombinasikan dengan obat interferon beta-1b sedang dievaluasi pada tahap uji klinis fase 2 untuk pengobatan COVID-19 di Hong Kong, China (nomor percobaan: NCT04465695) (ClinicalTrial.gov, 2021). 

Bagaimana penanganaan penderita kusta terhadap COVID-19?

  • Pencegahan utama yaitu mencuci tangan dengan sabun & air dan menjaga jarak. 
  • Mematuhi anjuran pemerintah perihal berpergian, bekerja , dan berkumpul. 
  • Siapa pun dengan gejala pernapasan harus tetap di rumah dan menggunakan media elektronik untuk berkonsultasi. 
  • Perawatan penderita tetap dilanjutkan dengan memperhatikan protokol kesehatan. 
  • Obat MDT dapat diberikan selama 2-3 bulan untuk mengurangi datangnya penderita ke fasilitas kesehatan. 
  • Pemeriksaan fungsi saraf harus dilakukan setiap tiga bulan pada penderita yang mengonsumsi MDT untuk mengurangi risiko kecacatan. 
  • Kortikosteroid diberikan pada penderita kusta bila mengalami radang syaraf. 
  • Penderita dengan reaksi kusta berat memerlukan kortikosteroid dalam jangka waktu lama sehingga manfaat kortikosteroid lebih besar dibandingkan peningkatan kecil risiko tertular COVID-19. 
  • Pengurangan kunjungan pada fasilitas kesehatan dengan adanya penderita COVID-19 jika tidak mendesak. Perawatan di rumah lebih disarankan (homecare).
  • Penggunaan media elektronik untuk mengkomunikasikan antara tenaga kesehatan dengan penderita. 
  • Penderita kusta yang mengalami gejala reaksi kusta, alergi, atau efek samping obat harus segera melapor ke fasilitas kesehatan terdekat. 
  • Penderita kusta dengan kelainan bentuk tangan tidak menyentuh bagian tubuh lain dan benda di sekitarnya di masa pandemi
  • Hal yang tidak kalah penting adalah mencuci tangan, menjaga kebersihan diri, menggunakan masker, menjaga jarak, menjaga nutrisi. 
(Rathod et al., 2020; Thangaraju et al., 2020; WHO, 2020)

Tips mencegah epidemik dan pandemik

Apakah pembaca masih ingat perbedaan epidemik dan pandemik?

Jadi, epidemik adalah peningkatan kasus penyakit menular yang sering kali terjadi tiba-tiba dalam populasi tertentu di suatu daerahContoh penyakit yang pernah terjadi yaitu kolera, diare, campak, malaria, dan demam berdarah

Nah, sedangkan pandemik adalah epidemi yang menyebar secara global, misalnya hingga antar benua. Contoh penyakitnya ya seperti yang kita rasakan sekarang ini yaitu COVID-19. Pada zaman dahulu, kusta juga pernah menjadi penyakit pandemik. 

Berikut tips untuk mencegah epidemik dan pandemik 

  • Kebersihan dan sanitasi yang baik
  • Akses air bersih
  • Cuci tangan secara benar dengan mengggunkan air dan sabun
  • Vaksinasi
  • Jaga jarak
  • Proaktif
  • Mengonsumsi makanan yang aman, bersih, dan matang
  • Pengendalian vektor (hewan yang dapat menularkan penyakit)
  • Toilet yang bersih dan layak
  • Waspada kemungkinan ancaman epidemik dan pandemik
(IFRC, 2018)
Stigma negatif kepada penderita kusta memicu perasaan takut perihal diskriminasi dan kronisnya membawa dampak keterlambatan pengobatan -Ni'mah et al., 2020

Daftar Pustaka

Buol, R.A. 2017. Kisah Pilu Mereka yang Dipecat karena  Kusta. https://regional.kompas.com/read/2017/03/16/19000061/kisah.pilu.mereka.yang.dipecat.karena.kusta.3.?page=all.  Diakses pada tanggal 16 Agustus 2021. 

ClinicalTrial.gov. 2021. Dual Therapy with Interferon Beta-1b and Clofazimine for COVID-19. https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04465695. Diakses pada tanggal 11 Agustus 2021.

Deps, P., Repsold, T., Salgado, C., de Carvalho Bouth, R., Cerqueira, S.R.P.S., Brezinscki, M.S., et al. 2020. COVID-19 in Persons Affected by Hansen's Disease in Brazil. medRxiv.

IFRC [the Iternational Federation of Red Cross and Red Crescent Societies]. 2018. Major Epidemic adn Pandemic Diseasehttps://media.ifrc.org/ifrc/wp-content/uploads/2018/11/12-EPIDEMIC-HR.pdf. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2021.

Junior, G.S.M., Kurizky, P.S., Cerqueira, S.R.P.S., Barroso, D.H., Schulte, H.L., de Albuquerque, C.P., et al. 2021. Enhanced IL-6 and IL-12B Gene Expression After SARS-CoV-2 Infection in Leprosy Patients May Increase the Risk of Neural Damage. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 104(6): 2190-2194.

Kemenkes RI [Kementerian Kesehatan Republik Indonesia]. 2018. Infodatin : Hapuskan Stigma dan Diskriminasi terhadap Kusta. Kemenkes RI: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 

Kurizky, P.S., Cerqueira, S.R.P.S., Cunha, D.V., Albuquerque, C.P.D., Aires, R.B., Mota, L.M.H.D. et al. 2020. The Challenge of Concomitant Infections in the Coronavirus Disease 2019 Pandemic Era: Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 Infection in A Patient with Chronic Chagas Disease and Dimorphic Leprosy. Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical, 53.

Mahato, S., Bhattarai, S. and Singh, R. 2020. Inequities Towards Leprosy-affected People: A Challenge During COVID-19 Pandemic. PLoS Neglected Tropical Diseases, 14(7): 1-4. 

Ni'mah, Z. F. F, Kusariana, N. and Ginandjar, P. 2020. Perceived Stigma as a Risk Factor for Delay in Seeking Treatment of Leprosy Patients: A Cross-Sectional Study in Tuban Regency. E3S Web of Conferences. 202 (12011): 1-5. 

Rathod, S., Suneetha, S., Narang, T., Bhardwaj, A., Gupta, S.K., Kamoji, S.G., et al. 2020. Management of Leprosy in the Context of COVID-19 Pandemic: Recommendations by SIG Leprosy (IADVL Academy). Indian Dermatology Online Journal, 11(3): 345.

Stanford.edu. (n.d.). Clinical Signs and Symptoms. https://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2006/Leprosy/snsx.htm. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2021. 

Thangaraju, P., Arulmani, M., Venkatesan, S., Gurunthalingam, M.P. and Thangaraju, E. 2020. COVID-19 and Leprosy-hurdles and Possible Solutions. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine, 13(10): 472-473. 

WHO [World Health Organization]. 2020. Advice about Leprosy and COVID-19. https://cdn.who.int/media/docs/default-source/searo/thailand/advice-about-leprosy-and-covid-19.pdf?sfvrsn=6171bfc0_0. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2021. 

WHO [World Health Organization]. 2021.  COVID-19: Clinical Management. WHO: Geneva. 

Yuan, S., Yin, X., Meng, X., Chan, J., Ye, Z.W., Riva, L., et al. 2020. Clofazimine Is a Broad-spectrum Coronavirus Inhibitor that Antagonizes SARS-CoV-2 Replication in Primary Human Cell Culture and Hamsters. Research square.

Comments

Popular posts from this blog

Beauty of Soul and Body

Teman makan teman? emangnya bisa?

Productivity : Something in Excess is Not Good